Pages

Kamis, 24 Desember 2009

Semangkok Bakmi


Pada malam itu, Sue bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Sue segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun.

Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat Sue berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu ia berkata "Nona, apakah engkau ingin semangkuk bakmi?"
"Tetapi, aku tidak membawa uang", jawab Sue dengan malu-malu.
"Tidak apa-apa. Aku akan mentraktirmu", jawab sang pemilik kedai. "Silakan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu".

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi dengan sepiring sayuran. Sue segera makan beberapa suap dan kemudian air matanya mulai berlinang. "Ada apa Nak?" tanya si pemilik kedai."Ah, tidak apa-apa. Aku hanya terharu" jawab Sue sambil mengeringkan air matanya. "Bahkan, seorang yang baru aku kenal pun mau memberi aku semangkuk bakmi! Tetapi, Ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, langsung mengusir aku dari rumah. Ibu mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. Sebaliknya, engkau, orang yang baru aku kenal ternyata begitu peduli dengan keadaanku. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri" ujar Sue yang ternyata tidak mampu membendung gejolak isi hatinya.

Pemiliki kedai itu, setelah mendengar perkataan Sue, tampak menarik nafas panjang dan kemudian berkata, "Nona, mengapa engkau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini. Aku hanya memberimu semangkuk bakmi, dan untuk itu engkau pun menjadi sangat terharu. Coba bayangkan, Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu semenjak engkau masih kecil hingga akhirnya beranjak dewasa. Mengapa engkau tidak berterima kasih kepadanya? Malah, engkau bertengkar dengan beliau".

Sue terhenyak mendengar perkataan tadi. "Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut ? Untuk semangkuk bakmi dari seseorang yang baru aku kenal, aku begitu berterima kasih. Tetapi kepada Ibuku yang telah memasak selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan, hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengan Ibu", renung Sue dalam hati.

Sue pun segera menghabiskan bakmi tersebut dengan cepat. Lalu, ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus dia ucapkan kepada Ibunya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengatakan "Ibu, aku minta maaf, aku tahu bahwa aku memang bersalah. Maafkan aku."

Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ternyata sang Ibu telah mencari Sue ke semua tempat. Ketika ia bertemu dengan Sue, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah "Sue, cepatlah masuk. Ibu telah menyiapkan makan malam. Segeralah kamu makan makanan itu, akan menjadi dingin jika kamu tidak memakannya sekarang", ujar sang Ibu sambil tersenyum.

Pada saat itu, Sue tidak dapat menahan air matanya dan ia pun menangis sejadi-jadinya di pangkuan sang Ibu. "Ibu, maafkan aku" kata Sue sambil terisak.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk sebuah pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi, kepada orang yang sangat dekat kepada kita, khususnya orangtua kita, kita harus ingat bahwa kita hendaknya berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

Cinta....Sepenggal Bait Tak Ter-artikan

Seperti sebuah tiupan angin, lembut dan mengantarkan kesejukan.

Angin, sesuatu hal yang abstrak tapi ketika dia sudah bertindak kasar, jangankan segundukan gunung pasir yang tinggi, bahkan gedung angkuh dan menara pencakar langit bisa luluh lantak tanpa sisa.

Demikian pula cinta, ia ditakdirkan sebagai satu benda tanpa bentuk, nama untuk beragam perasaan, judul untuk semua gemuruh hati, muara dari berjuta makna, wakil dari harapan tak terkira, kekuatan tak terartikan.

Kisah itu pun bermuara pada jatuh cinta, suatu peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian manusia sepanjang masa.

Cinta, mampu mengubah seorang pengecut jadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut, yang lemah jadi kuat.

Cinta merajut emosi manusia, begitu agung bahkan rumit sekaligus.Maka syair Rabiah al adawiyah, Rumi, Iqbal Tagore, Kahlil Gibran, sampai legenda Romeo dan Juliet, Siti Nurbaya, Cinderella menjadi begitu abadi tersimpan di dalam lembar sejarah hidup manusia.

Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya... seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-sayapnya yang Patah.

Sebuah kisah dari sang raja yang galau karena sang putra mahkotanya ternyata seorang pemuda, apatis, dan tak berbakat.
Suatu saat raja mencoba mengubah pribadi putranya dengan kata kunci: "The power of love". Sang raja kemudian mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah menjadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah sesuatu yang diharapkan, putranya jatuh cinta dengan seseorang diantara mereka. Tapi kepada gadis itu raja berpesan, "Kalau puteraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya ,"Aku tidak cocok untukmu, Aku hanya cocok untuk seseorang raja atau seseorang yang berbakat menjadi raja."

Benar saja, putera mahkota seketika tertantang. Maka ia pun mempelajari segala hal yang harus diketahui oleh seorang raja dan ia pun melatih diri menjadi seorang raja. Dan seketika luar biasa, bakat seorang raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata ia bisa! Dan semua karena cinta.

Cinta telah bekerja dalam jiwanya, sempurna. Dan memang selalu begitu, menggali jiwa manusia ke dalam, terus mendalam, sampai mata air keluhuran hati ditemukannya. Maka dari sana menyeruak luar biasa semua potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dari sana, mata air keluhuran mengalir deras, membanjir dan desak mendesak hingga bermuara pada perbaikan watak dan penghalusan jiwa.

Cinta membuat manusia jadi manusia, dan memperlakukan manusia di tempat kemanusiaan yang tinggi.

Kalau cinta kita kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia, hewan, tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan untuk yang kita cintai. Dengan kata lain, cinta suci harus mampu membawa sesuatu yang dicintai pada kebaikan, pada hakikat cinta sejati, pada cinta Allah yang abadi. Jatuh cinta membuat manusia merendah, tapi sekaligus bertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.

"Kamu takkan pernah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa, tanpa gerak, tanpa daya hidup, tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka dan syahwat." (Annis Matta)

Seperti itu pulalah cinta bekerja ketika harus memenangkan Allah atas diri sendiri dan yang lain, atau memenangkan iman atas syahwat.

Sebuah kisah pemuda kufa ahli ibadah, hingga suatu saat ia jatuh cinta pada seorang gadis, dan cintanya berbalas. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya,"Aku datang padamu, atau kuatur cara supaya kamu bisa menyelinap ke rumahku", begitu penjelasan sesatnya.

"Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!" itu jawaban sang pemuda sekaligus membuat sang gadis terhenyak. Pemuda itu memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta. "Jadi dia masih takut pada Allah?", gumam sang gadis. Seketika ia tersadar, dan tiba-tiba dunia terasa kerdil di hadapannya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan diri untuk beribadah. Tapi cintanya pada pemuda tidak mati. Cintanya berubah menjadi rindu yang berkelana dalam jiwa dan do'a-do'anya. Tubuhnya luluh latak didera rindu, dan akhirnya ia meninggal.

Sang pemuda terhentak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan do'a-do'anya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas pusara sang gadis. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya, cantik, sangat cantik. "Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku?" tanya sang gadis.

"Baik-baik saja. Kamu sendiri di sana bagaimana,"jawabnya sembari balik bertanya. "Aku di sini dalam surga yang abadi, dalam nikmat hidup tanpa akhir." Jawab sang gadis. "Do'akan aku, jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu", tanya pemuda lagi.

"Aku tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdo'a agar Allah menyatukan kita di surga, teruslah ibadah. Sebentar lagi engkau akan menyusulku," jawab sang gadis. Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya. Atas nama cinta, ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, atas nama cinta pula Allah akan mempertemukan mereka, dan cinta bekerja dengan cara itu.

Tersebutlah kisah Umar bin Abdul Azis, seorang ulama, seorang mujtahid. Ia besar di lingkungan istana megah bani Umayyah, dan hidup dengan gaya hidup mereka bukan gaya hidup ulama. Shalat jama'ah pun kadang ditinggalkannya, lantaran belum selesai menyisir rambut. Tapi begitu ia menjadi khalifah, ia pun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan mengubah dinasti bani Umayyah. "Aku takut pada neraka", katanya menjelaskan rahasia perubahannya pada Al-Zuhri.

Ia memulai perubahan besar dalam dirinya, istrinya, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruhnya. Kerja keras, walaupun hanya 2 tahun 5 bulan tapi membuahkan hasil luar biasa. Ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa'ur Rasyidin.

Tapi semuanya ada harganya, fisiknya anjlok..Saat itulah istrinya datang membawa kejutan besar; ia menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahi. Seorang gadis yang sudah lama dicintai dan sangat diinginkannya, begitu pun sebaliknya sang gadis.
Ironisnya, Fatimah istrinya, tidak pernah mengizinkan, atas nama cinta dan cemburu. Tapi sekarang justru sang istrinyalah yang membawa hadiah kepadanya. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.

Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu biru.
Kenangan romantika sebelum perubahan, bangkit kembali dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwa. Tapi saat cinta hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahan belum usai ditunaikan.
Cinta dan cita bertemu muka dan bertarung dalam pelataran hati sang Pembaharu.

Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, "Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya kembali kepada dunia perasaan semacam itu," kata Umar.

Cinta yang terbelah dan tersublimasi di antara kesadaran hingga berakhir di puncak keagungan.
Umar memenangkan cinta yang lain., karena memang ada cinta di atas cinta.
Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.

Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya, "Umar, dulu kamu pernah mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang?. " Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, "Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya lebih dalam!".

Cinta di atas cinta, dan adakah yang lebih mulia cintanya dari suatu Zat yang begitu mencintai kita?, yang tak pernah meninggalkan kita di saat kita galau dan bimbang. Cinta, semuanya atas nama cinta, bukanlah suatu hal yang salah apalagi tercela. Ia mampu mengangkat manusia menduduki posisi paling agung, ketika sang manusia mampu menempatkannya pada posisi terhormat di relung hatinya.

Allah memberikan kesempatan pada kita untuk menghirup dunia ini, itu atas cinta Allah pada kita. Allah telah menciptakan kita begitu sempurna, memberikan kita raga begitu rupa, memberikan kita waktu begitu raya, memberikan semuanya begitu berharga.

Allah pulalah yang selalu di sisi kita, melihat kita, mendengar kita, membimbing kita menuntun kita walau kita kadang luput untuk mengingat-Nya. Allah pulalah yang selalu hadir dalam kesendirian kita, di saat kita tersudut dalam keperihan, di saat kita terpuruk dalam kedukaan, di saat semua lupa pada kita.

Allah pulalah satu-satunya yang tak pernah mengecewakan kita atas sesuatu hal yang kita harap. Allah-lah satu-satunya yang Maha Pemberi terbaik bagi hamba-hambanya. Begitu besarnya cinta Allah kepada kita, tak tertandingi seluas langit dan bumi pun. Apakah kita, manusia, masih mampu menggantikan cinta-Nya dengan seorang hamba manapun yang lemah dan papa.....?

Pernahkah kamu?


Pernahkah kamu merasakan, bahwa kamu mencintai seseorang, meski kamu tahu ia tak sendiri lagi, dan meski kamu tahu cintamu mungkin tak berbalas, tapi kamu tetap mencintainya?

Pernahkah kamu merasakan, bahwa kamu sanggup melakukan apa saja demi seseorang yang kamu cintai, meski kamu tahu ia takkan pernah peduli ataupun ia peduli dan mengerti, tapi ia tetap pergi?

Pernahkah kamu merasakan hebatnya cinta, tersenyum kala terluka, menangis kala bahagia, bersedih kala bersama, tertawa kala berpisah?

Aku pernah.........Aku pernah tersenyum meski kuterluka karena kuyakin Tuhan tak menjadikannya untukku,
Aku pernah menangis kala bahagia, karena kutakut kebahagiaan cinta ini akan sirna begitu saja.

Aku pernah tertawa saat berpisah dengannya, karena sekali lagi, cinta tak harus memiliki, dan Tuhan pasti telah menyiapkan cinta yang lain untukku.

Aku juga pernah bersedih kala bersamanya, karena kutakut aku kan kehilangan dia suatu saat nanti, dan......

Aku tetap bisa mencintainya, meski ia tak dapat kurengkuh dalam pelukanku, karena memang cinta ada dalam jiwa, dan bukan ada dalam raga.

Semua orang pasti pernah merasakan cinta.. baik dari orang tua... sahabat.. kekasih dan akhirnya pasangan hidupnya.

Buat temenku yg sedang jatuh cinta..
Selamat yah.. karena cinta itu sangat indah. Semoga kalian selalu berbahagia.

Buat temanku yg sedang terluka karena cinta...
Hidup itu bagaikan roda yang terus berputar, satu saat akan berada di bawah dan hidup terasa begitu sulit, tetapi keadaan itu tidak untuk selamanya,
bersabarlah dan berdoalah karena cinta yang lain akan datang dan menghampirimu.

Buat temanku yang tidak percaya akan cinta...
buka hatimu jangan menutup mata akan keindahan yang ada di dunia maka cinta membuat hidupmu menjadi bahagia.

Buat temanku yang mendambakan cinta..
bersabarlah.. karena cinta yang indah tidak terjadi dalam sekejab.. Tuhan sedang mempersiapkan segala yang terbaik bagimu.

Buat temanku yang mempermainkan cinta....
Sesuatu yang begitu murni dan tulus bukanlah untuk dipermainkan. Cinta bukan suatu kehampaan. Semoga kalian berhenti mempermainkan cinta dan mulai merasakan kebahagiaan yang seutuhnya.

Selasa, 22 Desember 2009

Kentang Kebencian



Seorang Guru Sekolah Dasar (SD) mengadakan "permainan". Guru menyuruh tiap murid membawa sebuah kantong plastik transparan dan kentang. Masing-masing kentang tersebut diberi nama berdasarkan nama orang yang dibenci, sehingga jumlah kentangnya tidak ditentukan berapa tergantung jumlah orang-orang yang dibenci. Pada hari yang disepakati masing-masing murid membawa kentang dalam kantong plastik. Ada yang berjumlah 2, ada yang 3 bahkan ada yang 5. Selanjutnya guru mengharuskan murid-murid membawa kantong plastik berisi kentang tersebut kemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun, selama 1 minggu. Hari berganti hari, kentang-kentang pun mulai membusuk, murid-murid mulai mengeluh, apalagi yang membawa 5 buah kentang, selain berat baunya juga tidak sedap. Setelah 1 minggu murid-murid SD tersebut merasa lega karena penderitaan mereka akan segera berakhir. Guru : "Bagaimana rasanya membawa kentang selama 1 minggu ?" Keluarlah keluhan dari murid-murid SD tersebut, pada umumnya mereka tidak merasa nyaman harus membawa kentang-kentang busuk tersebut ke mana pun mereka pergi. Guru pun menjelaskan apa arti dari "permainan" yang mereka lakukan. Guru: "Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain. Sungguh sangat tidak menyenangkan membawa kentang busuk kemanapun kita pergi. Itu hanya 1 minggu, bagaimana jika kita membawa kebencian itu seumur hidup ?"

Hidup adalah anugerah



Hari ini sebelum engkau berpikir untuk mengucapkan kata-kata kasar, ingatlah akan seseorang yang tidak bisa berbicara. Sebelum engkau mengeluh mengenai cita rasa makananmu, ingatlah akan seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan. Sebelum engkau mengeluh tentang suami atau isterimu, ingatlah akan seseorang yang menangis kepada Tuhan meminta pasangan hidup. Hari ini sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu, ingatlah akan seseorang yang begitu cepat pergi ke pangkuan-Nya. Sebelum engkau mengeluh tentang anak-anakmu, ingatlah akan seseorang yang begitu mengharapkan kehadiran seorang anak tetapi tidak mendapatkannya. Sebelum engkau bertengkar karena rumahmu yang kotor, dan tidak ada yang membersihkan atau menyapu lantai, ingatlah akan gelandangan yang tinggal dijalanan. Sebelum merengek karena harus menyopir terlalu jauh, ingatlah akan seseorang yang harus berjalan kaki untuk menempuh jarak yang sama. Dan ketika engkau lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu, ingatlah akan para pengangguran, orang cacat dan mereka yang menginginkan pekerjaanmu. Sebelum engkau menuding atau menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa dan kita harus menghadap pengadilan Tuhan. Dan ketika beban hidup tampaknya akan menjatuhkanmu, pasanglah senyum di wajahmu dan berterimakasihlah pada Tuhan karena engkau masih hidup dan ada di dunia ini.

Kisah Sang Elang

Seorang petani menemukan sebuah telur di sawahnya, dan ternyata telur yang ditemukannya itu adalah telur elang. Namun si petani tersebut tidak menyadarinya. Wah, lumayan nih dapet sebutir telur, bisa untuk tambahan menu makanan hari ini, pikir si petani. Sesampainya di rumah, petani tersebut urung melakukan niatnya, melihat bentuk telur itu yang agak besar dan berbeda dengan telur ayam biasanya. Akhirnya si petani tersebut menaruh telur elang tersebut di kandang seekor ayam betina di belakang rumahnya untuk di-erami.

Hari berganti hari, dan akhirnya telur elang itupun menetas bersama dengan telur-telur ayam lainnya. Masa kanak-kanak elang tersebut dihabiskan dengan anak-anak ayam yang lain. Dan akhirnya tingkah elang tersebut pun seperti layaknya ayam yang lain. Si anak elang menjalani kehidupannya seperti ayam, seperti yang dilakukan sang saudara tirinya, mencari cacing, bermain dengan ayam-ayam.Hingga suatu saat dia melihat ada seekor elang terbang diatas mereka, sang anak elang pun terpana melihat elang tersebut terbang bebas diangkasa. “wah enak ya si elang bisa terbang bebas,” kata si anak elang tersebut. ”Jangan mimpi deh, kamu kan ayam ngga bisa terbang seperti mereka,” kata saudara tiri si elang.

Anak elang tumbuh dewasa. Badannya semakin tegar, sayapnya semakin kokoh, kuat paruhnya semakin tajam, dan kakinya semakin mencengkram. Tapi dia masih saja bertingkah seperti ayam. Dia tidak berani tuk mengepakkan sayapnya, hanya bersedih melihat dirinya berbeda dengan ayam-ayam lainnya dan hanya bisa memandang ke langit memperhatikan burung-burung lain yang terbang. Hingga akhirnya si elang itupun mati tanpa ia bisa mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi di angkasa.

Sebuah pelajaran yang berharga dari cerita di atas. Tentang diibaratkannya diri kita adalah seekor elang yang sebetulnya mampu untuk terbang, melayang tinggi, dan bermain di angkasa. Hanya tinggal kemauan untuk mencoba mengepakkan sayap, maka kita akan bisa terbang bersama burung-burung yang lain dan malah bisa lebih tinggi kalau kita menyadari bahwa diri kita memiliki kelebihan dan kekuatan untuk melakukan hal itu.


Tapi sayang, kadang-kadang mental kita masih berada jauh dari impian, masih berkutat di dalam lingkungan yang sempit, kuno, dan tidak mau berubah seperti eleng tadi. Untuk keluar mencoba melakukan sesuatu hal yang baru masih belum bisa dan tidak berani melakukannya. Kita masih terkondisikan oleh lingkungan, tanpa mau tahu sebetulnya kita juga bisa menciptakan kondisi lingkungan.

Memang berat menjadi seekor elang di lingkungan ayam, karena memang sudah menjadi kebiasaan, menjadi sebuah tabiat, semua dilakukan atas asas tradisi. Tapi tidak ada salahnya tuk mencoba, tidak ada salahnya tuk bisa berubah. Hidup adalah sebuah alur yang tidak selalu lurus. Ia bergerak dinamis mengikuti arah perkembangan jaman.

Banyak rintangan dan hambatan menjadikan sebuah pelajaran buat kita tuk bisa menghadapinya. Kesabaran tuk belajar mengepakkan sayap secara perlahan-lahan tapi pasti akan menunjukkan jati diri bahwa kita adalah manusia yang diciptakan oleh Allah secara sempurna yang diberikan akal untuk berpikir, tuk bertahan hidup, dan juga tuk bisa merasakan setiap perbedaan dengan perubahan.

Jumat, 18 Desember 2009

KETIKA MAS GAGAH PERGI


Mas Gagah berubah!
Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah ! Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja… ganteng! Mas Gagah juga sudah
mampu membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA. Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang
menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol. Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?” Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga. Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?
“Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He…he…he..” kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat ! Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
–=oOo=–
“Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil
mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.
Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikuuum!” seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya !” kataku sewot.
“Lho emang kenapa ?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah !
Memangnya kita orang Arab… , masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !”
“Bodo !”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek…, mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho !”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya?
“Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !”
begitu kata Mas Gagah.
Oalaa !
–=oOo=–
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya. Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjama’ah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,”Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju
panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu !”
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita ! Eh,
sekarang pakai manggil Dik Manis segala! Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh.
Sering juga mama menegurnya.
“Penampilanmu kok sekarang lain, Gah?’
“Lain gimana, Ma ?”
“Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”
Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.” Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.
Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan. Dan…yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?
“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang !”
“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat khan
orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…,
sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?
Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya
padaku. “Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!”
Si Mas tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji
Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?”
kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya, Dik Manis !?”
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun…,
akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
–=oOo=–
“Mau kemana, Git!?”
“Nonton sama teman-teman.” Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!”
“Ikut Mas aja, yuk!”
“Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa
aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut. “Assalaamu’alaikum!” terdengar suara beberapa lelaki. Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk,
nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah. “Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng. Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”
Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab…, yaaa begitu deh!!
–=oOo=–
“Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!” seru Tika
setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya. “Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya.
“Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kita nya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham.” Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
“Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku
ingin kita tetap dekat, Gita…, meski kita kini punya
pandangan yang berbeda,” ujar Tika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…,” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Ana.”
“Mbak Ana ?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!”
“Hidayah ?”
“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!”
–=oOo=–
“Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan…, eh Mas Gagah !” tegurku
ramah.
“Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi
ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina,
Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku ke-Islaman..
“Cuman lagi baca !”
“Buku apa ?”
“Tumben kamu pengin tahu?”
“Tunjukin dong, Mas…buku apa sih?” desakku.
“Eit…, Eiiit !” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya. Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.
“Nah yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami
bersama-sama membaca buku ‘Memilih Jodoh dan Tata Cara
Meminang dalam Islam’ itu..
“Maaaas…”
“Apa Dik manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa ?”
“Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab…,” tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar,
ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu. Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia
tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!!
“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit…”
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
“Kok…tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah !” Ujarku sekenanya.
“Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam. Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam
milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!
–=oOo=–
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo,
mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
“Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.
Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek! Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab, Git !” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!”
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama”.
Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau, tapi nggak sekarang…,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!
“Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!”
“Lho?” Mas Gagah bengong.
–=oOo=–
Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas
Gagah-ku !”
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar!
Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.
“Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri,” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini.
–=oOo=–
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdalah.
Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bias dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku. Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.
“Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!”
kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??!” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !” Mama tertawa. Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
–=oOo=–
Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh…” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!” Telpon berdering.
Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah???”
“Ada apa , Pa?” tanya Mama cemas.
“Gagah…, kecelakaan…, Rumah Sakit… Islam…,” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaaahhh!!!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas. Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
–=oOo=–
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis. Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan. “Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku, “Sabar, Sayang…, sabar.”
Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas…Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas… Gagah…,” bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…, Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah…, umat juga.”
Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama
ibu, bapak, dan Gi…”
“Gita..” suaraku serak menahan tangis.
“Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
“Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai.. jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada
tangannya. Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Dzikir…, Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang…
“Gi…ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matamya terbuka. Aku tersenyum. “Gita… udah pakai… jilbab…,” kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu. Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul. Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata. Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…, Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insane beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa…llah…, Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,”
suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.
Selamat jalan, Mas Gagah !
–=oOo=–
(Epilog)
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun Sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris. Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu
panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini… Setitik air mataku jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, Insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”
“Kok nanya gitu?”
“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!”
“Ganteng kan?”
“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong ! Jihad itu… “
Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah!